Monday, March 25, 2019

Hirarki Perundangan di Indonesia

Hirarki Perundangan di Indonesia

Menurut Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2011, yang dimaksud Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri dari:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan MPR
c. UU/Perpu
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Propinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Lembaga Negara yang berwenang membentuk peraturan perundang-undnagan atas dasar atribusi kekuasaan dalam UUD'45 adalah:
1. MPR dalam menetapkan undang-undang dasar (Pasal 3)
2. Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (1) s/d ayat (5)
3. Presiden dalam membentuk Peraturan Pemerintan dan Perpu (Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22)
4. Pemerintahan Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah (Pasal 18 ayat (6).

Selanjutnya Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 juga mengatur yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu:
"Jenis Peraturan Perundnag-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaran Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan. Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Udang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat"
bahwa peraturan-peraturan yang dibuat sebagaimana disebut dalam Pasal 8 ayat (1) adalah diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-udangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

PENGGOLONGAN HUKUM DI INDONESIA

PENGGOLONGAN HUKUM DI INDONESIA

BERDASARKAN WUJUD :
1. Hukum Tertulis adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundang-undangan.
Contoh Hukum Tertulis
Hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata.
2. Hukum Tidak Tertulis adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan.
Contoh Hukum Tidak Tertulis
Hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu.



BERDASARKAN RUANG :

1. Hukum Lokal adalah hukum yang hanya berlaku di daerah tertentu.
Contoh Hukum Lokal
hukum adat Batak, Minangkabau, Jawa dan sebagainya.
2. Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.
Contoh Hukum Nasional
hukum Indonesia, hukum Malaysia, hukum Mesir dan sebagainya.
3. Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara.

PENGGOLONGAN HUKUM BERDASARKAN WAKTU :
1. Ius Constitutum (Hukum Positif) adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.)
2. Ius Constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
3. Hukum Asasi (Hukum Alam/Hukum Antar Waktu) adalah hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia. Hukum ini tak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapapun juga diseluruh tempat.

HUKUM PRIBADI:
Pengertian Hukum Pribadi adalah seperangkat peraturan hukum yang mengatur tentang subjek hukum/ orang pribadi.
1. Hukum satu golongan adalah hukum yang mengatur dan berlaku hanya bagi satu golongan tertentu.
Contoh hukum satu golongan: Pada masa penjajahan hukum yang mengatur khusus golongan timur asing.
2. Hukum semua golongan adalah hukum yang mengatur dan berlaku bagi semua golongan warga negara.
Contoh Hukum semua golongan adalah hukum positif Indonesia yang berlaku sekarang.
3. Hukum antargolongan adalah hukum yang mengatur dua orang atau lebih yang masing-masing pihak tunduk pada hukum yang berbeda.

BERDASARKAN ISI :
Hukum Publik (Hukum Negara) adalah hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara Negara dengan perseorangan (warganegara) 
1. Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk dan susunan pemerintah suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat-alat perlengkapan satu sama lain, dan hubungan antar Negara (pemerintah Pusat) dengan bagian-bagian negara (daerah-daerah swastantra).
2. Hukum Administrasi Negara (Hukum Tatausaha Negara atau Hukum Tata Pemerintahan) adalah hukum yang mengatur cara-cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkpan negara.
3. Hukum Pidana (pidana=hukuman) adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan. Paul Scholten dan Logemann menganggap Hukum Pidana tidak termasuk Hukum Publik
4. Hukum acara adalah merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil.

Hukum Privat (Hukum Sipil) adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan natar orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan
1. Hukum Perorangan adalah himpunan peraturan yang mengatur manusia sebagai subjek hukum dan tentang kecakapannya memiliki hak-hak serta bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Manusia dan Badan Hukum (PT, CV, Firma, dan sebagainya) merupakan "pembawa hak" atau sebagai "subjek hukum".
2. Hukum keluarga adalah hukum yang memuat serangkaian peraturan yang timbul dari pergaulan hidup dan keluarga (terjadi karena perkawinan yang melahirkan anak).
3. Hukum Kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang dapat dinilai dengan uang. Hukum kekayaan mengatur benda (segala barang dan hak yang dapat menjadi milik orang atau objek hak milik) dan hak-hak yang dapat dimiliki atas benda.
4. Hukum Waris adalah yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Hukum waris mengatur pembagian harta peninggalan, ahli waris, utan penerima waris, hibah serta wasiat.

Berdasar tugas dan fungsi
1. Hukum material adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kpentingan dan hubungan-hubungan berwujud perintah-perintah dan larangan-laranagn.
Contoh Hukum Material : Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, dan lain-lain.
Jika orang berbicara tentang Hukum Pidana, Hukum Perdata, maka yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Material dan Hukum Perdata Material.
2. Hukum Formal (Hukum Proses atau Hukum Acara) adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-cara Hakim memberi putusan.

Contoh Hukum Formal : Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Pidana adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan Hukkum Pidana Material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara-perkara ke muka Pengadilan Pidana dan bagaimana caranya Hakim pidana memberi putusan.

Hukum Perdata Formil adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan hukum perdata materil atau tuntutan hak.

Hukum Ketenagakerjaan


Hubungan kerja adalah suatu hubungan yang tercipta antara pemberi kerja dengan penerima kerja dimana penerima kerja bersepakat untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah. Pemberi kerja dalam hal ini dapat berbentuk perusahaan dan dapat pula perseorangan.
Contoh : Perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan.



  PKWT ( Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ) adalah perjanjian kerja yang dibatasi oleh masa berlakunya waktu perjanjian/ perjanjian kerja tidak bersifat permanen. Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan dua hal pokok : a. Perjanjian berlaku untuk jangka waktu tertentu dan memuat batas waktu berlakunya perjanjian, b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
PKWTT ( Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu ) adalah perjanjian kerja yang sifatnya permanen, dan dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Dalam PKWTT secara lisan diatur dalam pasal 63 UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/ buruh bersangkutan.
Outsourching atau pemborongan pekerjaan diatur dalam pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/ buruh yang dibuat secara tertulis.
Meski PKWT, PKWTT dan outsourching telah diatur sepenuhnya dalam UU Ketenaga kerjaan tetapi hal itu tidak mewakili hak hak pekerja/ buruh karena isi dalam UU tersebut  banyak yaang tidak berpihak pada hak-hak pekerja/ buruh.

  Perjanjian kerja atau kontrak kerja dengan perusahaan merupakan  suatu hubungan perdata yang berlaku asas pacta sunt servanda artinya perjanjian yang telah dibuat berlaku layaknya UU bagi para pihak yang membuatnya. Jadi, bukan berarti kontrak kerja dapat mengatur apa saja semaunya perusahaan.
Dalam pasal 54 ayat (2) Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), menegaskan bahwa kontrak kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan perundang-undangan yang berlaku.


Kontrak kerja yang tepat dan melindungi kepentingan pekerja pada saat ini adalah PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) yang dimana sering disebut dengan karyawan tetap, dengan menjadi karyawan tetap maka pekerja mendapatkan hak-hak nya  secara penuh selama menjadi karyawan/ pekerja sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Thursday, January 18, 2018

Wewenang Penydik PPNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Kewenangan penyidikan tersebut diatur dalam pasal 112 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan dan pasal 63 UU No. 11 tahun 1995 yang telah di rubah dan ditambah dengan UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai jo. PP No. 55 tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa aparatur penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang bertugas di bidang Bea dan Cukai, hal ini selaras dengan asas Lex Specialis Derogate Legi Generali. Surat Jaksa Agung Republik Indonesia kepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia Nomor B-003/A/Ft.2/01/2009 tanggal 14 Januari 2009 perihal Pengendalian & Percepatan tuntutan perkara tindak pidana kepabeanan dan cukai butir 3 disebutkan bahwa “Selanjutnya apabila menerima Berkas Perkara Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai selain penyidik instansi tersebut diatas “agar ditolak” hal ini perlu diingatkan sebagai antisipatif jangan sampai terulang penyidikan yang keliru yang dilakukan oleh Penyidik Polri terhadap kasus Drs. M Nurdin Khalid dimana Pengadilan menolak Berkas Perkara karena menganggap Pejabat yang menyidik tidak berwenang.